Rieke Diah Pitaloka dan Pentahelix

BRIN Inisiasi Kolaborasi Pentahelix untuk Kesiapsiagaan Bencana di Indonesia

Akhir-akhir ini cuaca dengan perubahan alam seperti pancaroba di tanah air kadang tak terprediksi, seperti panas dan tiba-tiba hujan hingga banjir yang pastinya merugikan. Meski tak seperti Jepang, negara kita pun mengalami gempa  yang sudah mulai sering dan tak ringan efeknya. Apalagi negara kita memang mempunyai Ring of Fire danpotensi negara kepulauan dengan tsunami yang tak ringan disertai dengan potensi gempanya.

“Kita pahami bahwa masyarakat kita dalam keseharian apa adanya dalam menghadapi fenomena-fenomena alam tersebut. Padahal perlu dipahami kondisi alam kita berubah. Pada titik inilah, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan ingin menggugah pemikiran dan membangun mindset kesiapan dalam penanganan bencana tersebut,” ujar Sekretaris Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan BRIN, Rudi Arifiyanto saat membuka Talkshow bertajuk “Kolaborasi untuk Indonesia Siap Siaga Bencana” di ajang Indonesian Research and Innovation Expo atau InaRI expo di Cibinong, pada Kamis (27/10).

“Oleh karena itu, dengan kerentanan-kerentanan tersebut masyarakat sadar/aware sehingga tumbuh kewaspadaan. Dari kewaspadaan yang ada, harapannya dibangunlah skema kesiapsiagaan. Maka BRIN dengan 7 Kedeputian, 12 Organisasi Riset (OR), 84 Pusat Riset (PR) akan berusaha mendorong pelayanan maksimal kepadapara stake holder, baik lembaga, pemerintah daerah, mitra-mitra dari LSM yang ingin kesiapsiagaan penanganan bencana bisa disiapkan sedini mungkin. Maka langkah-langkah strategis pun disiapkan seperti forum saat ini yang berkolaborasi dengan pihak universitas, legislatif, pemerintah pusat maupun masyarakat sendiri,” sambung Rudi.

Dirinya melanjutkan bahwa dengan kolaborasi dalam kesiapsiagaan bencana yang dijalin, kemudian dapat dibangun ide-ide inovasinya. “Ide-ide inovasi ini penting dengan peran semuanya dari masing-masing pihak seperti legislatif dengan fungsi legislasinya mendorong regulasi dalam kesiapsiagaan bencana, BNPB dengan menjaga ekosistem sehingga kesiapsiagaan tersebut dapat didukung oleh misalnya Basarnas yang harus siap saat ada atau tidak ada bencana. Ini kemudian yang kita bangun,” ungkap Rudi lebih lebih lanjut.

“Makanya peran semua pihak yakni universitas, pusat riset dan masyarakat sangat penting untuk kemudian membuat  skema dan pilihan-pilihan pola desain atau infrastruktur untuk penanggulangan bencana ditambah nantinya tumbuh kota-kota baru yang menjadi tantangan pula untuk mendukungnya,” tegas Rudi menutup sambutannya sekaligus membuka acara secara simbolis.

Hadir dalam Talkshow yang dipandu Budi Heru Santosa, peneliti Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air (PRLSDA) BRIN, tiga narasumber yakni Apip (Peneliti dan Koordinator Kelompok Penelitian Hidrologi dan Optimalisasi Ekosistem Perairan Darat PRLSDA BRIN), Muksin Umar (Dosen dan Koordinator Pengusul Program Studi Doktor Ilmu Kebencanaan  Universitas Syiah Kuala dan Koordinator Geological Hazards Cluster and Vice Director of Tsunami and Disaster Mitigation Research Center), Raditya Jati (Deputi Bidang Sistem dan Strategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Rieke Diah Pitaloka (Anggota DPR RI).

Budi membuka Talkshow dengan ilustrasi bahwa meski Indonesia mempunyai banyak potensi bencana namun sudah saatnya kita menyebut Indonesia “Laboratorium Bencana” alih-alih supermarket bencana. Karena apa-apa yang dialami Indonesia belum tentu ada di negara-negara lainnya. Makanya orang berdatangan ke Indonesia untuk belajar apa itu liquifaksi, tsunami, dan sebagainya.

“Topik saat ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia yang terletak di antara ring of fire, tiga lempeng yang sangat cepat pergerakannya dan kita juga terletak di garis khatulistiwa yang sangat rentan dengan bencana hidrometeorologi. Terbukti ada publikasi tahun 2021 menyebutkan terjadi 5402 bencana di Indonesia, di antaranya 33% banjir, 29% cuaca ektrem, dan 24% tanah longsor. Artinya bencana hidrometeorologi mendominasi Indonesia,” rinci Budi.

Budi menyebutkan, Pemerintah sejak beberapa tahun terakhir telah mendorong kolaborasi dengan para stake holder, untuk konteks Indonesia disebut kolaborasi Pentahelix karena di dalamnya ada pemerintah, masyarakat, dunia usaha, akademisi, media massa yang saling berkolaborasi untuk mengurangi risiko bencana yang mau tak mau harus dihadapi.

Di Indonesia sudah ada banyak lembaga riset dan penelitian yang dikelola pemerintah, PT, swasta, NGO yang menghasilkan produk-produk riset dan inovasi  dalam rangka mengurangi risiko bencana, seperti bangunan tahan gempa, teknologi modifikasi cuaca, peringatan dini banjir dan tsunami dan sudah banyak pula digunakan. “Kita berharap semuanya dapat didorong lagi agar bisa lebih berkontribusi sehingga peran lembaga riset lebih besar dan target yang harus dicapai dalam konteks pengurangan risiko bencana dapat direalisasikan,” tutur Budi.

Paparan pertama talkshow disampaikan oleh Apip yang menjelaskan bahwa sebenarnya di BRIN sendiri sudah ada dan sedang berjalan malah menghasilkan produk yang sudah dipakai untuk pencegahan/mitigasi bencana. Salah satunya adalah yang dipaparkannya tentang “Pengembangan Sistem Pemodelan Hidrologi untuk Kuantifikasi dan Tata Kelola Reduksi Risiko Bencana Hidrometeorologi (Banjir)”.

Seringkali menjadi pertanyaan mengapa Indonesia menjadi referensi bencana. Indonesia memang diberkahi sumber daya air yang melimpah khususnya dari atmosfir yakni curah hujan, namun kalau DAS tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan bencana. Hal ini dilatarbelakangi kondisi sosial masyarakat yang heterogen memang menimbulkan dampak  bencana.

“Saatnya merubah mindset bahwa bencana bukan dianggap bencana lagi tapi bencana diposisikan Sebagai Market Investasi untuk Mengambil Profit (Resiliensi) berupa Saving “Potensi Damage/Kerugian” khususnya di level policy nasional maka akan berimbas pada kemajuan Indonesia di bidang sains dan teknologi untuk tata kelola risiko bencana dan ini akan fokus pada perkembangan yang cepat bidang riset, invensi, dan inovasi  bidang pencegahan dan mitigasi bencana. Dan outcome-nya berdampak pada Indonesia tangguh bencana,” harap Apip.

Narasumber kedua Muksin Umar memaparkan “Peran Perguruan Tinggi dalam Mewujudkan Resiliensi: Bealajar dari Bencana Tsunami 2004”. Menurutnya untuk mencapai masyarakat yang resiliens atau paham terhadap bencana maka perlu mendayagunakan Iptek untuk membangun kultur penanggulangan risiko bencana, antara lain dengan pengetahuan sehingga masyarakat sadar dan paham, aksi nyata, dan menyesuaikan diri dengan prilaku/cara hidup masyarakat di daerah dengan risiko bencana.

Dirinya menyatakan untuk mendukung semua hal itu, Perguruan Tinggi tidak bisa sendiri. “Diperlukan peran dan dukungan pemerintah, swasta/dunia usaha, masyarakat, lembaga non-pemerintah, dan media untuk mewujudkan masyarakat yang paham dalam penanggulangan risiko bencana,” paparnya. “Interaksi multidisiplin seperti sains, kesehatan, budaya, sosial politik, agama, dan engineering sehingga tercapai kolaborasi yang harmonis dari berbagai bidang,” imbuh Muksin.

Narsum selanjutnya dari BNPB, Raditya Jati mendeskripsikan Fokus Prioritas Renas PB 2020-2024, yakni: (1) Penguatan dan harmonisasi peraturan perundang-undangan penanggulangan bencana; (2) Penguatan tata kelola penanggulangan bencana yang semakin profesional, transparan, dan akuntabel; (3) Penerapan riset inovasi dan teknologi kebencanaan melalui integrasi kolaboratif multi pihak; (4) Peningkatan Sarana Prasarana Mitigasi dalam Pengurangan Risiko Bencana; (5) Penguatan Sistem Kesiapsiagaan Bencana; (6) Pembedayaan masyarakat dalam penanggulangan bencana dengan pendekatan rekayasa  sosial yang kolaboratif (collaborative social engineering); (7) Peningkatan perlindungan terhadap kerentanan lingkungan di daerah rawan bencana; (8) Penguatan Sistem dan Operasionalisasi Penanganan Darurat Bencana; dan (8) Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi di daerah terdampak bencana.

Dikatakan Raditya, Indonesia merupakan negara kepulauan yang indah, kaya dan nyaman, namun memiliki risiko bencana yang tinggi. “Early warning to Early Action menjadi penting untuk implementasinya,” tegasnya.

“Bencana merupakan tanggungjawab bersama, maka perlu dikembangkan kemitraan, sinergitas, dan inklusifitas untuk penanggulangan yang efektif. Selain itu perlu investasi dalam PRB dan antisipasi emerging risk karena pembangunan. Tak lupa Industrialisasi Kebencanaan menjadi prioritas mulai dari riset, teknologi, standarisasi, hingga industrialisasi untuk membangun resiliensi bangsa dan menjadi center of excellence di bidang kebencanaan di dunia,” terangnya.

“Dukungan kolaboratif, inklusif, dan integratif dalam PB sangat diperlukan agar ketangguhan melalui “manajemen bencana dalam genggaman dan pangkuan masyarakat” dapat segera terwujud,” tambah Raditya menutup paparannya.

Sementara itu, Rieke dari DPR RI menegaskan bahwa Science tidak lagi for Science semata tapi harus Science for Humanity mengawali paparannya. Itulah makanya ia menekankan titik berat perhatiannya ke masyarakat pedesaan dengan konsep Data Desa Presisi (DDP) seperti yang menjadi kajian dalam disertasi Doktornya tahun 2022 ini.

Rieke menyoroti krusialnya Drone Participatory Mapping (DMP) yakni pendekatan inklusif yang menempatkan relasi antara manusia dan teknologi untuk mengumpulkan data desa presisi dengan mempertimbangkan dimensi spasial teknologi digital, partisipasi warga dan sensus sehingga dapat diketahui pula infrastruktur dan lingkungan hidup termasuk penanggulangan risiko bencana.

Sumber: BRIN