Rieke Diah Pitaloka Sidang Doktoral UI
Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Rieke Diah Pitaloka meraih gelar Doktor Ilmu Komunikasi usai menjalani sidang promosi Auditorium Juwono Sudarsono FISIP Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, Rabu (25/5/2022).

Bongkar Data Pemerintah Tak Akurat, Rieke Diah Pitaloka Raih Gelar Doktor Ilmu Komunikasi UI

JAKARTA, KOMPAS.com – Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Rieke Diah Pitaloka meraih gelar Doktor Ilmu Komunikasi usai menjalani sidang promosi Auditorium Juwono Sudarsono FISIP Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, Rabu (25/5/2022).

Rieke tercatat meraih gelar Doktor Ilmu Komunikasi tercepat di FISIP UI tanpa cuti dengan nilai cumlaude. Adapun masa studi yang ditempuhnya yakni 2 tahun 8 bulan 2 hari.

Sementara, disertasinya berjudul ‘Kebijakan Rekolonialisasi: Kekerasan Simbolik Negara Melalui Pendataan Perdesaan’. Baca juga: BKN Ungkap Alasan Ratusan CPNS Mengundurkan Diri: Gaji Terlalu Kecil Sehingga Hilang Motivasi “Disertasi ini merupakan deskripsi, analisis dan interpretasi atas perbandingan dua jenis data, yaitu data perdesaan yang direproduksi institusi negara dengan pendekatan top down dan data yang diproduksi warga dengan pendekatan bottom up,” kata Rieke dalam keterangan tertulis, Kamis (26/5/2022).

Dengan keberhasilan ini, Rieke menjadi Doktor Bidang Ilmu Komunikasi FISIP UI ke-124 dan doktor perempuan ke-63. Rieke mengatakan, temuan penelitian memperlihatkan bahwa data yang direproduksi negara tidak mengintegrasikan antara data spasial dan numerik.

Akibatnya data tersebut sulit dikonfirmasi, diverifikasi, dan divalidasi. Hal tersebut menyebabkan kualitas data negara tidak memenuhi prinsip-prinsip data yang aktual, akurat dan relevan (pseudo data). Namun data tersebut tetap dianggap data yang memiliki legalitas sebagai basis data kebijakan pembangunan karena prosesnya berpedoman pada peraturan perundang-undangan. “Inilah yang disebut dengan kekerasan simbolik negara, kekerasan yang beroperasi dengan cara mengatur, mamaksakan, bahkan bisa saja merekayasa pendataan dan data perdesaan,” katanya.

“Ketika pseudo data dijadikan basis kebijakan publik, maka dampaknya adalah marginalisasi berkesinambungan oleh negara,” sambung dia. Ia mengungkapkan, disertasi ini membongkar kekerasan negara yang beroperasi melalui data yang tidak menginformasikan kondisi dan kebutuhan riil warga serta potensi riil perdesaan.

Praktek ini mengakibatkan monopoli sumber daya publik berada di tangan biroksasi atau pun korporasi. “Sementara, ruang komunikasi dan partisipasi masyarakat tertutup atas nama teknokrasi yang legal,” ucap dia.

Sumber: Kompas